Raksasa Badminton Indonesia Bertahan di Tengah Kesulitan Dana

PB SGS dan PB Mutiara Cardinal banyak melahirkan bintang lapangan dari markas mereka di Bumi Parahyangan. Pandemi Covid-19 lalu sempat menghantam mereka.

Jakarta, CNN Indonesia

“Dari kecil sampai sekarang berkat SGS, saya besar di SGS. Dengan begitu saya komitmen tidak pernah belok atau pindah kemana-mana, susah senang di sana. Ketika pensiun diminta bantu membesarkan SGS, itu jadi kebanggaan.”

Taufik Hidayat adalah salah satu pebulutangkis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Ia punya gelar individu yang komplet untuk ajang multi event mulai dari SEA Games, Asian Games, hingga emas Olimpiade. Taufik juga punya titel juara dunia 2005, menempati peringkat nomor satu dunia dan sederet gelar bergengsi lainnya.

Di balik lika-liku perjalanan yang diciptakan oleh Taufik, satu hal yang menarik adalah ia selalu setia pada SGS, klub legendaris yang berbasis di Kota Bandung. 

Mantan Ketua Umum Pengda Jabar yang pernah memimpin lebih dari 20 tahun dan juga pemilik SGS, Lutfi Hamid, adalah sosok yang sangat dihormati oleh Taufik dan sudah ia anggap sebagai bapak angkat.

Karena itu, ketika Lutfi memintanya ikut membantu mengurus SGS, Taufik langsung bersedia.

Kini, sebagai Ketua SGS, Taufik menyadari sejumlah hal penting tentang eksistensi klub tersebut dalam sejarah badminton Indonesia. Hal itulah yang ingin terus dijaga oleh Taufik.

“Kalau dibilang sebagai klub, bisa dibilang SGS ini salah satu yang masih berdiri sampai sekarang. Orang dulu mungkin tahu Djarum, Tangkas, Jaya Raya, kemudian baru SGS. Tetapi bukan dilihat dari klub yang kaya atau miskin, tidak.”

“SGS juga banyak sumbangsihnya. Dari pembinaannya, kita bisa lihat SGS bukan tipe punya perusahaan sendiri seperti Djarum yang bisa melakukan apa saja, dari merekrut pemain sampai pelatih. Kalau dari kami, ujung-ujungnya memaksimalkan yang ada,” tutur Taufik.

Rutin Mencetak Bintang

Lutfi Hamid sebagai pendiri SGS mengakui klub miliknya tengah berusaha bertahan untuk tetap terus tegak berdiri sebagai salah satu klub yang rutin mencetak bintang badminton Indonesia.

SGS berdiri di akhir era 80-an dengan dibentuk dari gabungan beberapa klub yang lebih dulu berdiri. Dasar pendirian itu adalah karena prestasi badminton di Jawa Barat saat itu sempat menurun.

“Setelah beberapa tahun, kami tumbuh menjadi kekuatan besar di Jawa Barat. Sejumlah pemain juga masuk pelatnas seperti Taufik Hidayat, Halim Haryanto, Flandy Limpele,” tutur Lutfi.

Di awal berdirinya SGS, Lutfi mengeluarkan kocek pribadi untuk menjalankan roda organisasi klub. Sejak 2004, PLN lalu masuk sebagai sponsor SGS.

Masuknya PLN kemudian memberi tenaga besar bagi bergeraknya roda organisasi SGS. Namun sayangnya, kerja sama SGS dengan PLN berakhir di 2020.

“Sayangnya, memang mungkin karena pandemi, PLN menyetop pendanaan untuk SGS. Padahal di perjanjian, kerja sama itu sampai 2022,” tutur Lutfi.

Dengan ketiadaan sponsor utama, jalan SGS kemudian menjadi pincang tak seperti sedia kala.

SGS selama ini punya lima camp yaitu Cicalengka, Cijerah, Iie Sumirat, Nara Sudjana, dan Cikampek. Tanpa kehadiran sponsor, untuk pemenuhan biaya operasional saat ini, selain dari iuran atlet, roda kegiatan klub bisa bergerak karena kocek pribadi para pengurus yang terlibat di dalamnya.

Ketidakhadiran sponsor itu pula yang membuat SGS untuk sementara menonaktifkan Pusdiklat milik mereka. Pusdiklat SGS biasanya berisi atlet-atlet pilihan yang diambil dari lima camp yang mereka miliki. 

“SGS sedang cooling down, kami akan membentuk lagi dengan ujung tombak Taufik Hidayat. Kami butuh dukungan dari semua pihak, khususnya pemerintah. SGS pencipta atlet kelas dunia, yang saat ini contohnya Anthony Ginting, Fajar Alfian, dan Muhammad Shohibul Fikri,” ucap Lutfi.

Sementara itu Taufik menyebut SGS akan terus berupaya beradaptasi mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam mengantisipasi perbedaan karakter pemain dan pelatih yang ada dalam dunia badminton Indonesia.

“Sampai sekarang masih bersyukur SGS masih dipertimbangkan oleh klub lain dan kami masih berkontribusi. Dulu dan sekarang, penanganan terhadap klub juga berbeda.”

“Contoh saja, dulu atlet mau latihan dengan benar dan pelatih juga serius mau melatih. Kejadian sekarang, mau atlet dan pelatih itu, mohon maaf, money oriented,” ucap Taufik.


Taufik Hidayat akan terus berjuang membuat SGS tetap jadi salah satu klub yang punya reputasi bagus dalam pembibitan atlet badminton. (AFP/GOH CHAI HIN)

Taufik mengenang pembinaan di zamannya masih diisi banyak pelatih yang bekerja dengan sukarela. Namun seiring perkembangan zaman, ada sejumlah hal yang berubah.

“Contoh pelatih saya dulu. Saya baru masuk dengan iuran bulanan, tetapi bilang dulu soal kemampuan pembayaran. Tetapi karena punya talenta jadinya SGS mau terima. Kalau sekarang, tidak tahu juga karena ada pelatih yang mau private ada yang biasa,” ujar Taufik.

Taufik pun melihat hal tersebut sebagai perubahan dinamika zaman. SGS pun mencoba merespons situasi itu agar terus bisa berkontribusi menjadi klub yang menyumbang pemain-pemain hebat ke Pelatnas Cipayung.

“Kalau sekarang, yang punya prestasi dulu diutamakan. Sekarang ada sistem bayar dan tidak bayar. PB Djarum sepertinya full dibiayai klub. Yang masuk PB Djarum juga selektif dari audisi.”

“Kalau kami mau melakukan itu [semua gratis] tidak bisa, karena menurut kami untuk anak-anak memang butuh dukungan orang tua [dana pembinaan di awal]. Sekarang jadi ada semacam perbandingan karena banyak atlet mau cari yang gratis,” kata Taufik.

Sebagai salah satu klub besar di Indonesia, SGS saat ini belum punya GOR sendiri. Memiliki jumlah atlet sebanyak 398 orang, tempat latihan SGS terpisah-pisah di beberapa lokasi.


PB SGS Bandung. (CNN Indonesia/Muhammad Hirzan)PB SGS saat ini belum memiliki gedung lapangan sendiri. (CNN Indonesia/Muhammad Hirzan)

“Sampai sekarang mungkin yang belum tercapai adalah punya tempat latihan sendiri seperti Jaya Raya dan Djarum. Lahan sudah ada, tinggal bangunannya saja.”

“Pelan-pelan saja karena kita bukan [didukung] perusahaan juga,” ujar Taufik.

Asrama yang dimiliki oleh SGS pun hanya punya kapasitas terbatas. Karena itulah SGS memilih mengukur kekuatan diri dan bersikap realistis terhadap situasi yang ada. Mayoritas atlet yang berada di bawah naungan SGS saat ini berasal Bandung dan Jawa Barat

“Dari dulu kami tidak pernah punya tempat tetap, tetapi kami tetap punya komitmen. Asrama ada, tetapi tidak sebesar Jaya Raya. Kami juga bukan kepunyaan perusahaan besar, tetapi yang pasti SGS selalu komitmen untuk prestasi Indonesia.”

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>



Mutiara Cardinal Bangkit dari Hantaman Pandemi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Sumber: www.cnnindonesia.com