PSSI, Polisi, dan Oksimoron Tragedi Kanjuruhan

Citra polisi dan PSSI sedang di titik nadir saat ini -- dua lembaga yang seharusnya menuntaskan investasi Tragedi Kanjuruhan.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Saya menarik napas panjang sesampai di pelataran Stadion Kanjuruhan, dua pekan lalu. Ingatan sempat melayang ke sembilan tahun silam, ketika terakhir saya datang menonton Arema di sana. Saat itu saya datang dengan kegembiraan yang membuncah, menyaksikan Persija melawan tim lainnya dalam Inter Island Cup.

Kali ini saya datang dengan sejuta tanda tanya di kepala.

Selama sepekan di Kepanjen, Kabupaten Malang, termasuk kota Malang tentunya, atmosfer duka yang terasa. Bertemu rekan, teman, juga orang-orang di banyak tempat, semuanya menyimpan luka dalam.

Minggu (2/10) malam, seorang pemuda menangis. Ia lesu di pelukan kawannya di pintu 13 Stadion Kanjuruhan. Seplastik bunga baru ia tabur di sana. Belum semenit, belum selesai bacaan doanya, tangisnya pecah.

Senin (3/10) sore. Seorang ibu. Kira-kira 50-an tahun. Duduk sendirian di pojok selatan Stadion Kanjuruhan. Dekat pagar besi lapangan latihan. Rambutnya penuh uban. Ia bengong. Tatapannya kosong.

Selasa (4/10) pagi. Seorang wanita turun dari motor. Matanya bengkak. Ia lantas tercekat di depan pintu 11. Ia membisu di depan tumpukan sepatu bekas. Di tangannya ada mawar merah.

Rabu (5/10) sore. Sepasang kekasih berdiri di depan patung kepala singa. Keduanya memakai kaus biru bertuliskan ‘Singo Edan’. Setelah 15 menit mengirim doa, keduanya pulang. Mata mereka merah.

Kamis (6/10) pagi. Seorang Aremania. Cukup punya nama di komunitasnya. Diserbu haru di tangga masuk stadion. Lima menit ia mematung di sana. Matanya berkaca-kaca. Saya hanya bisa mengelus pundaknya.

Jumat (7/10) malam. Ribuan manusia memanjat doa-doa di halaman Stadion Kanjuruhan. Ini tahlilan hari ketujuh tragedi 1 Oktober. Air mata masih ada. Duka masih terasa. Dan, frasa ‘usut tuntas!’ menyala-nyala.

Itulah sedikit gambar yang saya lihat selama sepekan di Malang. Banjir air mata mungkin hiperbola, tapi rasanya sangat nyata. Sungguh, duka itu bukan musikalisasi media massa.

Namun ada banyak juga kaum hipokrit di sana. Membual seolah-olah dengan logika. Kamuflase di atas fatamorgana fakta. Saya jadi teringat film ‘The Trial of Chicago 7’. Kira-kira begitu skenarionya.


Laporan TGIPF menyatakan penggunaan gas air mata jadi penyebab utama terjadinya Tragedi Kanjuruhan. (Photo by AFP)

Kebal Hukum Gas Air Mata

There are more hooligans in the House of Commons than at a football match,” kata Brian Clough. Saya memaknainya; “Ada lebih banyak hooliganisme di parlemen [Inggris] daripada di pertandingan sepak bola.”

Clough adalah mendiang mantan pelatih Nottingham Forest. Bagi mantan pemain Sunderland ini, hooliganisme adalah borok sepak bola Inggris.

Namun demikian, bagi saya ada yang lebih arogan dari hooligan: sistem.

Aroganisme dari sistem itu pula yang kiranya jadi biang kerok tragedi pilu lebih dari seratus Aremania meninggal di Kanjuruhan, selepas pertandingan Arema FC versus Persebaya pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022.

Padahal sudah ratusan pertandingan digelar di stadion yang konon merupakan medan tempur Kerajaan Kanjuruhan pada abad ke-8, dan tak pernah menelan ratusan korban jiwa.

Penyebabnya ada banyak. Sangat banyak jika digali dan didalami dengan teliti. Namun pendapat umum, yang itu bisa dilihat dengan mata telanjang, adalah semburan gas yang ditembakkan ke tribune penonton.

Di Amerika Serikat gas itu dikenal dengan sebutan CS. Gas ini diklaim lahir pada 1928 dari ilmuwan Ben Corson dan Roger Stoughton. Ialah gas yang dilarang FIFA, tapi masih meletup di sepakbola Indonesia.

Ya, yang kita bicarakan adalah gas air mata. Ini adalah gas pengendali huru-hara yang bebas dari protokol senjata kimia. Ia ‘kebal hukum’ karena tak menyebabkan pendarahan dan terpenting, tak meninggalkan jejak.

Anna Feigenbaum, profesor di Universitas Bournemouth, Inggris, penulis ‘Tear Gas: From the Battlefields of World War I to the Streets of Today’ mengakui gas air mata bukanlah senjata pembunuh.

Gas air mata, kata Anna, hanya membuat massa ketakutan dan menangis menjerit. Benar saja, ketakutan itu yang akhirnya menjejali kepala penonton Kanjuruhan hingga akhirnya terjadi desak-desakan kemudian terhempit ketika menuju pintu keluar stadion.

Perannya pun terang benderang ditegaskan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Lewat laporan mereka menyatakan: “Yang mati dan cacat serta sekarang kritis dipastikan setelah terjadi desak-desakan setelah gas air mata yang disemprotkan,” kata Mahfud MD dalam jumpa pers, pekan lalu.

“Dunia sudah gila,” kata Pep Guardiola soal Tragedi Kanjuruhan. Guardiola hanya kecewa. Jika pelatih Manchester City itu tahu dinamika sepak bola Indonesia, niscaya akan bilang, “Indonesia sudah gila.”

Saya jadi teringat Ahmad Solihin dan Sopiana Yusuf, dua Bobotoh yang meninggal saat Piala Presiden 2022, dan 76 suporter lainnya yang meninggal terkait sepak bola Indonesia sejak 1994 silam.

Tak ada tersangkanya.

Titik Nadir Polisi dan PSSI

Coba kau jawab pertanyaan ini. Kapan kerusuhan pertama sepak bola profesional Indonesia? Kapan korban meninggal pertama sepak bola nasional? Kapan pertama kali gas air mata dipakai di sepak bola kita?

Lupakan, kalau tak tahu, karena nyaris tak ada yang pegang jawabannya. Bahkan jika kau tanya ke mesin pencari Google.

Namun, kau harus ingat tanggal ini; peristiwa ini; kejadian ini; jangan sampai lupa: Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Ini adalah malam di mana 133 orang ‘syahid’ seusai pertandingan sepak bola.

Apa kata PSSI? Jumlah penonton yang dicatat PT Liga Indonesia Baru pada pekan ke-11 Liga 1 2022/2023 tersebut adalah 42.588 (102 persen).

PSSI, lewat Komite Disiplin Erwin Tobing, menyebut ini tak melebihi kapasitas.

Alasannya, Stadion Kanjuruhan tidak punya kapasitas yang pasti karena ada tribune berdiri. Ini oksimoron. Mana ada stadion tanpa kapasitas pasti, sebab ini tercatat dalam Sertifikat Laik Fungsi.

Apa kata PSSI? Pintu tribune stadion tidak dibuka menjelang laga usai oleh petugas security officer Arema FC. PSSI melalui Ketua Tim Investigasi PSSI Ahmad Riyadh menyebut Arema FC lalai.

Hei PSSI, sudah kalian memastikan info itu? Benarkah Arema FC lupa membuka pintu? Sudahkah kalian menanyakan hal ini pada para korban? Oksimoron lagi. Reportase dan investigasi membuktikan pintu sudah dibuka.

Apa kata PSSI? Sesuai regulasi, semua kesalahan adalah milik klub dan bukan PSSI juga operator kompetisi. Lantas mengapa disebut Stadion Kanjuruhan belum diverifikasi? Bukankah tim verifikator sudah ke sana?

Karenanya wajar jika publik meminta Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan mundur. Ini bukan soal moralitas. Ini soal kompetensi. Tak ada verifikasi itu fatal. Pelanggaran regulasi.

Apa kata polisi? Gas air mata bukan penyebab langsung kematian ratusan Aremania di Stadion Kanjuruhan. Mayoritas orang juga sepakat demikian.

Namun, gas air mata adalah penyebab utama tragedi ini.

Kalian tentu ingat kerusuhan di Stadion Deltras Sidoarjo. Bonek masuk ke lapangan dan membakar fasilitas stadion. Mereka akhirnya bisa dipukul mundur, tapi tak ada gas air mata di sana. Tak ada korban jiwa.

Citra polisi dan PSSI sedang di titik nadir saat ini. Aremania skeptis atas kinerja polisi. Orasi Anto Baret saat tahlilan tujuh hari Tragedi Kanjuruhan dan coretan dinding jadi bukti.

Jika tak cukup. Baca lagi laporan TGIPF. Sikap dan praktik ini jadi akar masalah yang sudah berlangsung bertahun-tahun:

“Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, di mana terjadi kerusuhan pasca pertandingan sepak bola antara Arema vs Persebaya pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepak bola Indonesia tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing, cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya, serta saling melempar tanggung jawab pada pihak lain.”

Coba kau jawab pertanyaan ini. Kapan kasus Tragedi Kanjuruhan tuntas? Kapan suporter bisa nyaman ke stadion? Kapan Liga Indonesia mulai lagi?

Jangan kau cari dulu, politik sepak bola nanti yang kau temukan.

[Gambas:Video CNN]

Tolong Bimbing PSSI

Untuk PSSI, polisi, TNI, dan siapa saja yang terlibat di sepak bola, ingatlah sajak ini: Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu. Jika belum membacanya, carilah karya Lintang Prameswari itu. Ini sedikit cuplikannya:

“Nak, ibu tinggalkan nasi bersama lauknya di atas meja,

Pulanglah dan santap habis setelah kau lelah berlaga.

Pulanglah, di rumah ada cinta,

Siap menampung berapa pun banyak kau meneteskan air mata.”

Kalau Aremania menuntut: usut tuntas, dan masyarakat meminta: tak ada sepak bola seharga nyawa, sudahilah gas air mata. Sudahilah memancing aparat menembakkan gas air mata. Sudahilah kebobrokan sistem ini.

FIFA, tolong bimbing PSSI agar disiplin dengan regulasi. Tak boleh ada syarat yang disepelekan lagi.

(vws)


LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS



Sumber: www.cnnindonesia.com